
GWInvestigasi.com Bacan – Keputusan Bupati Halmahera Selatan untuk kembali melantik empat kepala desa yang sebelumnya sudah dibatalkan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, dinilai tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Empat kepala desa yang kembali dilantik tersebut adalah:
1. Umar La Suma, Kepala Desa Gandasuli, Kecamatan Bacan Selatan.
2. Amrul Ms. Manila, Kepala Desa Goro-goro, Kecamatan Bacan Timur.
3. Arti Loyang, S.Pd, Kepala Desa Loleongusu, Kecamatan Mandioli Utara.
4. Melkias Katiandago, Kepala Desa Kuo, Kecamatan Gane Timur Selatan.
Padahal, masing-masing putusan PTUN Ambon telah dengan tegas membatalkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan mereka dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Putusan tersebut bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan.
Praktisi hukum Safri Nyong, SH menegaskan, langkah Bupati Halsel melantik kembali empat kepala desa tersebut jelas bertentangan dengan hukum.
Putusan PTUN yang telah inkracht memiliki kekuatan hukum yang sama dengan peraturan perundang-undangan dan berlaku secara umum (erga omnes). Artinya SK yang dibatalkan tidak lagi sah. Maka tidak ada alasan hukum bagi Bupati untuk menerbitkan SK baru dengan dasar Pilkades 2023 yang nyata-nyata sudah dinyatakan cacat hukum,” ujar Safri, Senin (…/…/2025).
Menurutnya, konsekuensi yuridis dari pembatalan SK itu seharusnya adalah dengan mengangkat para penggugat dalam perkara masing-masing sebagai kepala desa sah hasil Pilkades 2023, sesuai amar putusan. Alternatif lain, Bupati bisa mengambil langkah konstitusional dengan melaksanakan Pilkades ulang di desa-desa tersebut.
Selain itu, Safri juga meminta perhatian serius dari 30 anggota DPRD Kabupaten Halmahera Selatan untuk ikut mengawasi dan menegur kebijakan Bupati yang dinilai telah mengangkangi putusan pengadilan.
DPRD sebagai lembaga pengawas harus menggunakan fungsi kontrolnya. Jangan diam melihat praktik yang bertentangan dengan hukum. Jika perlu, DPRD bisa memanggil Bupati untuk meminta penjelasan resmi terkait keputusan melantik kembali empat kepala desa ini,” tegas Safri.
Safri menilai, jika DPRD abai, maka risiko terjadinya konflik sosial di tingkat desa semakin terbuka lebar, karena masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan pemerintahan.