BINJAI | InvestigasiGWI.com – Dunia pendidikan kembali tercoreng! SMP Negeri 1 Binjai, sekolah negeri favorit di Kota Binjai, terseret dalam dugaan praktik pungutan liar (pungli) terselubung dalam proses daftar ulang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2025/2026.
Fakta di lapangan mengungkap bahwa 10 siswa yang telah dinyatakan lulus seleksi PPDB gagal mendaftar ulang hanya karena orang tua mereka tidak mampu membayar Rp850.000 yang disebut sebagai “biaya perlengkapan.” Permintaan itu dilaporkan bukan berbentuk sukarela, tapi menjadi syarat mutlak agar siswa bisa melanjutkan proses administrasi.
“Kami disuruh bayar Rp850 ribu, katanya untuk seragam, perlengkapan, dan buku. Tapi kalau gak bayar, anak kami dianggap mundur. Ini paksaan terselubung!” ungkap salah satu wali murid dengan nada kecewa.
Ironisnya, pungutan semacam ini tidak tercantum dalam ketentuan resmi PPDB dan melanggar prinsip pendidikan gratis di sekolah negeri. Parahnya lagi, dugaan ini terjadi di tengah maraknya kampanye pemerintah soal penghapusan pungli dalam dunia pendidikan.
Sejumlah sumber menyebutkan, mekanisme pembayaran dilakukan secara tertutup, tanpa kuitansi resmi, dan diarahkan oleh pihak internal sekolah. Modus ini diduga telah berlangsung setiap tahun namun luput dari pengawasan.
“Ini bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi, ini pemalakan sistematis terhadap rakyat kecil! Harus ada tindakan tegas!” tegas praktisi hukum Sumut Akhmad Zulfikar SH.,
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Sekolah SMPN 1 Binjai ketika dikonfirmasi membantah tudingan tersebut. Selanjutnya ketika ditanya tentang uang sebesar Rp. 850.000,- uang apa beliau bungkam seribu bahasa. Dinas Pendidikan Kota Binjai terkesan menutup mata. Situasi ini memunculkan spekulasi adanya pembiaran sistemik atas praktik kotor yang membajak hak anak untuk memperoleh pendidikan.
InvestigasiGWI.com mendesak aparat penegak hukum — mulai dari Inspektorat, Ombudsman, hingga Kepolisian dan Kejaksaan — segera turun tangan untuk membongkar skema pungli ini sampai ke akar.
“Kalau tidak dibongkar sekarang, praktek jual-beli kursi dan pemerasan siswa miskin akan terus menjadi borok yang menggerogoti sistem pendidikan negeri ini,” pungkas Rizal.
Pendidikan itu hak, bukan privilege bagi yang mampu membayar. (Red)