Langkat – investigasiGWI.com |
Tragedi pembunuhan Frandi Sembiring (26) yang dilakukan oleh Gembira Surbakti (41), ayah mertuanya sendiri, kini memasuki sidang keempat di Pengadilan Negeri Stabat, Kamis (10/07/2025). Namun alih-alih membawa ketegasan hukum, persidangan justru memunculkan gelombang kekecewaan dan tanda tanya besar.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Langkat — Muhammad Zakiri, S.H., — hanya menuntut terdakwa dengan pidana penjara 18 tahun dan denda perkara Rp5.000.
🧨 “Cuma 18 Tahun?”
Tuntutan ini langsung memicu amarah keluarga korban dan kecurigaan publik. Pasalnya, pembunuhan tersebut dilakukan secara brutal dengan senjata tajam, di mana terdakwa membawa kelewang dari rumah, mengejar korban, dan membacok hingga tewas. Fakta ini telah terbuka sejak sidang pertama.
Namun entah atas dasar apa, tuntutan JPU justru terkesan “memutihkan” semua elemen kesengajaan dan kekejaman tersebut.
“Ada yang janggal. Ini bukan tindak pidana ringan. Ini pembunuhan. Tapi tuntutan jaksa seperti perkara penganiayaan biasa,” ujar narasumber kami, seorang mantan jaksa senior wilayah Sumut, yang meminta namanya disamarkan.
💬 Tangis dan Kekecewaan Keluarga Pecah
Dalam sidang keempat itu, Mayang Dwiyanti br. Surbakti, istri korban dan anak angkat terdakwa, menjadi simbol luka mendalam dan pengkhianatan dalam keluarga. Dengan air mata yang tak tertahan, ia menyuarakan jeritan batinnya kepada majelis hakim:
“Kalau terdakwa mengatakan dia tulang punggung keluarga, saya kehilangan tulang punggung keluarga seumur hidup, Pak Hakim. Mohon pertimbangannya...”
Ia tak hanya kehilangan suami, tapi juga menyaksikan ayah kandungnya menjadi pembunuh yang kini justru "diberi keringanan" oleh hukum.
Keluarga korban lainnya pun menyuarakan kecurigaan keras terhadap latar belakang tuntutan ringan tersebut. Beberapa pihak menduga, ada potensi tekanan, kompromi, atau permainan bawah meja.
“Kalau ini dianggap adil, maka kami patut curiga: hukum untuk siapa? Untuk korban atau untuk pelaku yang punya akses dan koneksi?” ucap salah satu tokoh masyarakat Langkat yang hadir di lokasi sidang.
⚖️ Pembelaan Pelaku: Klasik dan Tipis
Penasihat hukum terdakwa, FH. Sagala, S.H., mengajukan permohonan keringanan dengan alasan klasik: usia, kondisi keluarga, dan status sebagai tulang punggung ekonomi.
Namun bagi publik dan keluarga korban, itu tidak relevan dalam kasus pembunuhan berdarah. Apalagi korban juga merupakan tulang punggung keluarganya yang kini lenyap selamanya.
🔍 investigasiGWI.com Menelisik:
- Kenapa tuntutan jaksa begitu ringan?
- Apakah jaksa benar-benar mempertimbangkan fakta persidangan, atau ada intervensi diam-diam?
- Apakah Frandi Surbakti hanya angka dalam tumpukan berkas, atau manusia yang pantas mendapat keadilan?
Sidang akan dilanjutkan pada Rabu, 17 Juli 2025, dengan agenda pembacaan pledoi tertulis dari kuasa hukum terdakwa. Namun publik, aktivis, dan pengamat hukum kini sedang mengawasi: Apakah hakim akan ikut lunak? Atau tegak lurus pada keadilan sejati?
Redaksi investigasiGWI.com
Kami tidak akan diam. Karena keadilan yang ditawar hari ini, akan jadi bencana hukum esok hari.
Keadilan tidak butuh belas kasihan — ia butuh keberanian.
Reporter Investigatif: Tim Khusus investigasiGWI
Editor: Zoel Idrus
InvestigasiGWI.com – Tajam di Lapangan, Kritis di Fakta, Tak Takut Siapapun.