
InvestigasiGWI.com – Independen, Tajam, Investigatif
Kasus Weeks v. United States (1914) menguak sisi gelap praktik penegakan hukum: aparat masuk ke rumah Fremont Weeks tanpa surat perintah, menyita dokumen dan tiket lotre, lalu menjadikannya dasar menghukum. Inilah wajah penegakan hukum tanpa aturan – brutal, sewenang-wenang, dan inkonstitusional.
Mahkamah Agung Amerika Serikat turun tangan. Dengan suara bulat, para hakim agung menyatakan: setiap bukti yang diperoleh secara ilegal harus dikesampingkan. Putusan ini melahirkan doktrin exclusionary rule, benteng hukum untuk melawan kesewenang-wenangan negara.
Pesannya gamblang: penegakan hukum yang melanggar hukum adalah pengkhianatan terhadap konstitusi. Jika pengadilan membiarkan bukti ilegal dipakai, maka Amandemen Keempat hanya tinggal nama.
Dampak putusan ini menjalar luas. Ia menjadi preseden bagi perkara lain – dari Silverthorne Lumber Co. v. United States (1920) hingga Mapp v. Ohio (1961) – yang semuanya menegaskan: negara tidak boleh mencuri hak warga demi alasan menegakkan hukum.
Di Indonesia, sinyal pembaruan itu tampak dalam Pasal 222 ayat (2) RUU KUHAP (ICJR): bukti yang diperoleh dengan cara melawan hukum otomatis gugur. Aturan ini selaras dengan prinsip due process of law dan perlindungan hak asasi manusia.
InvestigasiGWI.com mencatat: Weeks v. United States bukan sekadar sejarah Amerika, melainkan peringatan universal. Aparat yang bermain curang harus dilawan dengan hukum yang tegas, karena jika aparat dibiarkan melanggar aturan, maka korban berikutnya adalah konstitusi itu sendiri.
Redaksi: InvestigasiGWI.com

.jpeg)