
Tangerang, Banten — Tim InvestigasiGWI menelusuri dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam pengurusan surat tanah relokasi Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Fakta-fakta yang terungkap di lapangan menunjukkan adanya permainan kotor yang merugikan warga.
Berdasarkan keterangan warga dan aparatur desa, biaya yang dipatok untuk pengurusan surat tanah bervariasi, mulai Rp2,5 juta hingga Rp8 juta. Nominal itu bergantung pada luas lahan dan kebutuhan surat yang diminta. “Ada yang bayar Rp8 juta untuk urus surat tanah. Uangnya langsung diberikan ke Kades Arun,” ungkap seorang aparatur desa, Rabu (27/8/2025).
Selain itu, muncul dugaan adanya aliran dana hingga ke tingkat kecamatan. Seorang sumber menyebut mantan Camat Teluknaga, Zam Zam Manohara, ikut terseret. “Untuk pemecahan surat lahan ahli waris, ada warga diminta Rp7 juta. Katanya duit itu sampai ke Camat,” ujarnya.
Namun, Zam Zam dengan tegas membantah tudingan tersebut. Ia menantang pihak yang menuduh untuk menunjukkan bukti. “Saya tidak pernah menerima berkas ataupun uang. Kalau ada yang menuduh, buktikan. Kalau tidak, saya akan somasi,” katanya, dikutip dari Transpantura.com (27/8/2025).
Kontradiksi justru terlihat dari pernyataan pihak pengembang. H. Eman, perwakilan perusahaan, menegaskan bahwa warga tidak dibebankan biaya apapun. “Semua biaya pembuatan sertifikat hak milik hingga SPPT PBB ditanggung pengembang. Tidak ada kewajiban warga membayar AJB. Cukup keterangan desa dan SPPT PBB sudah cukup untuk dasar relokasi,” jelasnya, Jumat (29/8/2025).
Temuan investigasi memperlihatkan adanya pola pungli sistematis:
- Warga relokasi diminta membayar biaya awal dengan dalih pembuatan AJB atau surat tanah.
- Besaran pungli bervariasi bergantung luas lahan atau kebutuhan pemecahan surat.
- Aliran dana tidak berhenti di desa, melainkan disebut merembet ke tingkat kecamatan.
Namun hingga kini, Kepala Desa Tanjung Pasir, Arun, memilih bungkam. Konfirmasi berulang kali lewat telepon dan WhatsApp tidak direspons.
Kasus ini memunculkan tanda tanya besar: bila pengembang sudah menanggung seluruh biaya, untuk apa dan kepada siapa uang jutaan rupiah dari warga itu mengalir?
Masyarakat menuntut Aparat Penegak Hukum (APH) bergerak cepat melakukan investigasi resmi. Skandal ini tak boleh berhenti pada wacana, sebab menyangkut hak dasar warga atas tanah dan potensi adanya praktik korupsi berjamaah.
InvestigasiGWI.com | Membongkar Fakta, Menyingkap yang Tersembunyi.

.jpeg)