
Jakarta – InvestigasiGWI.com | Wakil Menteri Transmigrasi Viva Yoga Mauladi memaparkan data mengejutkan: dari 619 kawasan transmigrasi di Indonesia, hanya 154 kawasan yang kini masuk prioritas pembangunan nasional melalui program revitalisasi. Fakta ini mengungkap tantangan besar pemerintah dalam menjaga keberlanjutan program yang sejak 1950 telah mengubah peta demografi dan geopolitik Indonesia.
Dalam Wawancara Eksklusif Tribunnews yang dipandu Apfia Tioconny Billy di Palmerah, Jakarta (27/8/2025), Viva Yoga menegaskan bahwa transmigrasi bukan hanya memindahkan penduduk dari Jawa ke luar Jawa, melainkan program pembangunan terpadu yang menyasar transmigran sekaligus masyarakat lokal.
“Kami bertanggung jawab memberdayakan seluruh warga di kawasan transmigrasi. Tidak boleh ada yang merasa dianak-tirikan,” tegasnya.
Konawe Utara, Cermin Harmoni atau Potensi Konflik?
Viva Yoga mencontohkan Kawasan Transmigrasi Hialu di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, di mana transmigran dan masyarakat lokal hidup berdampingan secara damai. Bahkan, warga menyerahkan 1.000 hektare tanah bersertifikat SHM untuk mendukung program ini, dengan skema 80 persen untuk transmigran lokal dan 20 persen dari luar daerah.
Namun, di balik kisah harmoni, terselip pertanyaan krusial: apakah model serupa bisa berjalan di semua daerah? Tidak sedikit catatan sejarah menunjukkan konflik horizontal terkait lahan, identitas, hingga perebutan akses sumber daya antara transmigran dan masyarakat adat.
Dari Desa Jadi Provinsi: Fakta atau Euforia?
Sejak 1950, transmigrasi diklaim telah melahirkan 1.567 desa, 466 kecamatan, 116 kabupaten, dan 3 provinsi. Angka ini menunjukkan keberhasilan besar, namun sekaligus menimbulkan pertanyaan: apakah semua kawasan transmigrasi benar-benar berkembang berkelanjutan, ataukah ada desa yang justru ditinggalkan dan stagnan?
Viva Yoga mengungkap banyak kepala daerah di luar Jawa ternyata anak transmigran. Sebuah bukti akulturasi budaya berjalan. Tetapi, di sisi lain, isu diskriminasi, keterbatasan infrastruktur, dan ketimpangan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah.
Instrumen NKRI, Tapi Perlu Pengawasan Serius
Viva Yoga menegaskan transmigrasi sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto: memperkuat rasa kebangsaan dan memperkokoh NKRI.
Namun, sejumlah pengamat menilai, tanpa pengawasan ketat, transmigrasi rawan jadi proyek seremonial. Lahan yang dijanjikan produktif bisa saja terbengkalai, dan janji kesejahteraan bisa berubah jadi beban baru bagi daerah penerima.
“Transmigrasi memang perekat bangsa. Tapi perekat ini rapuh bila tidak dibarengi tata kelola, transparansi, dan kesetaraan akses bagi masyarakat lokal,” ujar salah satu pemerhati kebijakan transmigrasi kepada InvestigasiGWI.com.
Catatan Investigasi
Transmigrasi masih memegang peran vital dalam pemerataan pembangunan Indonesia. Tetapi di balik klaim keberhasilan, terdapat tantangan serius: potensi konflik lahan, akulturasi yang tidak selalu mulus, hingga kebutuhan anggaran jumbo untuk infrastruktur dasar.
Apakah revitalisasi 154 kawasan prioritas mampu menjawab problem lama transmigrasi? Atau justru membuka babak baru persoalan sosial-ekonomi di daerah tujuan?
Waktu yang akan membuktikan, apakah transmigrasi benar-benar tetap menjadi “mesin perekat NKRI” atau sekadar proyek besar yang kehilangan arah.
Redaksi: InvestigasiGWI.com



.jpeg)