Investigasigwi.com - KAB. TANGERANG - Dalam tiga bulan terakhir, kepemimpinan Camat Gunung Kaler, Udin, S.Ag., M.Si., menimbulkan perhatian serius dari kalangan masyarakat dan mahasiswa. Berdasarkan pengamatan lapangan serta laporan warga, arah kebijakan yang dijalankan menunjukkan sejumlah persoalan mendasar dalam tata kelola pemerintahan di tingkat kecamatan.
Secara prinsipil, kepemimpinan publik seharusnya berlandaskan pada etika pelayanan (servant leadership) dan prinsip good governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, serta pelibatan aktif masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Namun, praktik pemerintahan di Kecamatan Gunung Kaler justru memperlihatkan gejala kepemimpinan yang sentralistik, tertutup, dan minim komunikasi sosial.
Alih-alih menjadi ruang yang terbuka bagi partisipasi masyarakat, kebijakan dan kegiatan pemerintahan di Gunung Kaler tampak berjalan tanpa arah strategis dan tanpa koordinasi yang solid. Banyak kegiatan yang hanya bersifat seremonial dan tidak menyentuh substansi pelayanan publik. Hal ini menunjukkan lemahnya perencanaan, rendahnya integrasi antarunsur pemerintahan, serta absennya kesadaran akan pentingnya sinergi dengan masyarakat sebagai mitra pembangunan.
Kesenjangan itu membuat Forum Mahasiswa Gunung Kaler buka suara, Wakil Ketua FMGK Farhan Rafiqi mengungkapkan, sebagai Pemerintah lokal seharusnya bukan panggung seremonial belaka, ketika warga setempat hanya menjadi penonton.
“Pemerintahan lokal seharusnya menjadi ruang dialog, bukan panggung seremonial. Ketika rakyat hanya dijadikan penonton dalam pembangunan, maka sesungguhnya yang sedang dibangun hanyalah tembok antara pemimpin dan rakyatnya.” Ungkap Farhan Rafiqi yang juga Presma di Untara.
Lebih lanjut Farhan mengatakan, isu pemangkasan anggaran kegiatan tanpa kejelasan alokasi menimbulkan tanda tanya besar terhadap transparansi keuangan publik di tingkat kecamatan. Di sisi lain, sulitnya masyarakat berkomunikasi langsung dengan camat memperdalam kesenjangan sosial antara pemimpin dan warga, menandakan hilangnya semangat keterbukaan dalam pemerintahan lokal.
Dalam perspektif akademik, kondisi ini menggambarkan munculnya gejala otoritarianisme birokratik, di mana kekuasaan administratif digunakan secara tertutup tanpa ruang partisipasi publik yang sehat. Fenomena semacam ini bukan sekadar masalah teknis kepemimpinan, tetapi mencerminkan krisis legitimasi moral dan sosial dalam birokrasi lokal. Ketika pemimpin abai terhadap aspirasi masyarakat, maka pemerintahan kehilangan substansi kemanusiaannya.
“Kekuasaan yang anti kritik pada akhirnya kehilangan arah. Karena tanpa suara rakyat, kekuasaan hanya akan berputar dalam kepentingannya sendiri.” Sambung Farhan. Selasa, (11/11/2025).
Atas dasar itu, Forum Mahasiswa Gunung Kaler (FMGK) menilai perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Camat Gunung Kaler oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang. Evaluasi ini penting untuk memastikan agar fungsi pemerintahan di tingkat kecamatan kembali berpijak pada prinsip pelayanan publik yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan.
Kami juga mendukung langkah masyarakat dalam membentuk Forum Masyarakat Gunung Kaler Bersatu sebagai bentuk kesadaran kolektif terhadap pentingnya kontrol sosial di tingkat akar rumput. Gerakan ini bukan bentuk perlawanan, melainkan ekspresi konstruktif dari warga yang menginginkan pemerintahan yang terbuka dan responsif terhadap kepentingan rakyat.
Sebagai bagian dari elemen muda dan intelektual daerah, kami menegaskan bahwa kepemimpinan yang baik tidak diukur dari kekuasaan administratif yang dimiliki, melainkan dari sejauh mana ia mampu mendengar, berdialog, dan melayani rakyatnya. Kepemimpinan yang menutup diri dari kritik pada dasarnya sedang menjauh dari mandat moral kekuasaan itu sendiri.
(Red/FMGK)


.jpeg)
