SERANG –Investigasigwi.com | Tak lagi tinggal diam, sebanyak 1.200 desa di Provinsi Banten bergerak cepat membentuk aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Gerakan akar rumput ini tak sekadar simbol, tapi menjadi tameng pertama yang melindungi anak-anak dari kekerasan yang selama ini kerap ditutup-tutupi.
Langkah massif ini bukan basa-basi. Menurut Fasilitator Nasional PATBM, Listiyaningsih, pembentukan PATBM di desa-desa menjadi pukulan telak terhadap budaya diam yang selama ini melanggengkan kekerasan terhadap anak.
“Sekarang orang berani bicara. Masyarakat sadar kekerasan terhadap anak bukan urusan rumah tangga semata, tapi kejahatan yang harus dilawan. Laporan naik, dan itu bukti warga tak mau lagi jadi penonton,” tegas Listiyaningsih saat diwawancarai Investigasigwi.com.
Ya, lonjakan laporan kasus kekerasan dianggap sebagai indikator keberhasilan awal. Dulu ditutupi, sekarang dilaporkan. Dulu dibisiki, sekarang disorot.
Tidak Hanya Sosialisasi, Ini Perlawanan Terstruktur!
PATBM bukan program tempelan. Ia bergerak dengan tiga senjata utama:
- Mengguncang norma sosial yang membiarkan kekerasan anak dianggap biasa,
- Mendidik orang tua dan masyarakat agar berhenti menjadi pelaku atau pembiar kekerasan,
- Membangun kekuatan mental anak agar tak mudah jadi korban.
Para aktivis PATBM adalah ujung tombak yang langsung turun ketika kasus terjadi. Mereka bukan sekadar pencatat, tapi penjemput, pendamping, dan penghubung antar-layanan.
“Kalau anak dipukuli sampai lebam, kami bawa ke puskesmas. Kalau ditelantarkan, kami hubungi dinas sosial. Bila pelakunya harus dijerat hukum, kami libatkan polisi. Kami jembatannya,” ungkap Listiyaningsih dengan nada tegas.
Negara Wajib Hadir, Bukan Sekadar Slogan!
Listiyaningsih bukan fasilitator yang duduk di balik meja. Ia turun ke lapangan, menyentuh langsung realita yang kerap luput dari sorotan. Ia menyuarakan fakta bahwa perlindungan anak tidak akan efektif jika hanya bertumpu pada kementerian atau lembaga di atas.
“Ini kerja gotong-royong. Dari Polres, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, hingga Kementerian PPA – semua harus ambil peran. Kalau satu lepas, korban bisa jatuh dua kali,” tegasnya lagi.
PATBM menyasar anak usia 0 hingga 18 tahun – bahkan anak dalam kandungan. Ini bukan kerja satu-dua hari, tapi pembangunan sistem perlindungan yang harus hidup dan responsif dari desa ke desa.
Jangan Diam, Laporkan!
Masyarakat yang masih ragu atau takut melapor, diminta untuk tidak lagi menjadi bagian dari pembiaran. Siapapun yang mengetahui kekerasan terhadap anak wajib bersuara, karena diam artinya ikut menyakiti.
Bagi yang membutuhkan informasi atau pendampingan, hubungi langsung Fasilitator Nasional PATBM, Listiyaningsih di nomor 0811XXXXXXX.
“Jangan tunggu anak jadi korban lagi. Laporkan sekarang!” – seru Listiyaningsih menutup wawancara.
(Tim Investigasigwi.com)