Jakarta – investigasigwi.com | Praktik persidangan perkara narkotika di Indonesia kembali menjadi sorotan. Mahkamah Agung (MA) melalui Humas menyampaikan kritik serius terhadap ketimpangan dalam proses pembuktian yang selama ini terlalu bergantung pada saksi penangkap—umumnya aparat kepolisian—sebagai satu-satunya sumber keterangan di ruang sidang.
Kritik ini mengemuka dalam perkara narkotika yang baru saja diputus oleh Pengadilan Negeri Pulau Punjung. Dalam persidangan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Dedy Agung Prasetyo, S.H., dengan anggota Tedy Rinaldy Santoso, S.H., dan Iqbal Lazuardi, S.H., menjatuhkan putusan kepada dua terdakwa tanpa kehadiran saksi dari pihak keluarga maupun lingkungan terdekat terdakwa.
Kontradiksi Hukum: UU Narkotika Bicara Rehabilitasi, Fakta di Sidang Bicara Penghukuman
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya Pasal 54, secara eksplisit menyebut bahwa pecandu dan penyalahguna narkotika harus menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Namun implementasi di persidangan, terutama terkait Pasal 127 ayat (1), menunjukkan sebaliknya—pembuktian lebih condong pada narasi kriminalisasi.
Dalam banyak kasus, hanya saksi penangkap yang dihadirkan. Padahal, kesaksian ini terbatas pada momen penangkapan dan barang bukti. Tidak ada informasi kontekstual mengenai keadaan terdakwa, faktor psikologis, hingga kondisi sosial yang memengaruhi perbuatannya.
“Ini cacat secara substansi. Hakim seolah dipaksa memutus hanya dari satu perspektif,” tegas Muamar Azmar Mahmud Farig, penulis dan pengamat hukum pidana.
Celakanya, Sistem Membiarkannya Berulang
Persidangan yang minim partisipasi dari pihak terdekat terdakwa merupakan gejala struktural yang dibiarkan berulang. Penyidik jarang menggali informasi dari lingkungan sosial terdakwa. Jaksa pun enggan menghadirkan saksi non-aparat karena dinilai berisiko melemahkan dakwaan. Di sisi lain, keluarga terdakwa takut terseret jika bersaksi.
Padahal, Pasal 169 ayat (1) KUHAP secara tegas memperbolehkan keluarga bersaksi jika mereka bersedia dan semua pihak menyetujui.
“Celakanya, sistem tahu ada ruang, tapi tidak digunakan,” imbuh Farig.
Butuh Keberanian Hakim: Gali Fakta di Balik Formalitas
Hakim sebagai pengendali jalannya persidangan sesungguhnya memiliki wewenang strategis. Berdasarkan Pasal 180 ayat (1) KUHAP, hakim dapat meminta bukti tambahan atau keterangan baru bila dianggap perlu untuk memperjelas duduk perkara.
Namun dalam praktik, hal ini jarang dilakukan. Alhasil, terdakwa yang sejatinya memerlukan rehabilitasi malah dihukum penjara tanpa mempertimbangkan akar masalah—baik psikologis, sosial, maupun dukungan keluarga yang mungkin tersedia.
Diversifikasi Saksi Bukan Sekadar Pilihan, Tapi Kebutuhan
Melibatkan orang-orang terdekat seperti keluarga, teman dekat, atau rekan kerja dapat memberi hakim perspektif menyeluruh soal terdakwa. Mereka bisa menjelaskan riwayat penggunaan narkotika, tekanan hidup, dan potensi rehabilitasi. Bahkan, menurut teori restorative justice yang dikembangkan John Braithwaite, pelibatan komunitas dalam proses peradilan bisa mempercepat reintegrasi sosial terdakwa.
Namun upaya ini membutuhkan keberanian struktural. Perlu regulasi teknis dan pedoman kejaksaan yang jelas, serta edukasi kepada masyarakat bahwa menjadi saksi bukan berarti “membela pelaku”, tetapi memberi informasi yang adil bagi hakim.
Kesimpulan Investigatif: Sistem Peradilan Harus Berani Berubah
Temuan ini menunjukkan betapa pembuktian perkara narkotika masih bersifat sempit dan formalistik. Dominasi keterangan saksi penangkap mempersempit ruang keadilan bagi terdakwa yang justru seharusnya dipulihkan, bukan dijatuhi pidana semata.
Diversifikasi saksi dalam perkara narkotika bukan sekadar gagasan akademik. Ia adalah kebutuhan mendesak demi sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan berbasis rehabilitasi.
Jika tidak segera dibenahi, sistem ini hanya akan melahirkan putusan yang sah secara hukum, namun cacat secara keadilan.
Penulis: Muamar Azmar Mahmud Farig
Editor Investigatif: Redaksi investigasigwi.com