Menembus Sunyi Tempursari: Ketika Petugas Lapas Menjadi Kurir Kemanusiaan

Zulkarnaen_idrus
0


Lumajang – investigasi.com | Bukan kendaraan dinas. Bukan seremonial penuh formalitas. Yang kami temui adalah rombongan petugas Lapas Lumajang yang memilih jalan sunyi, menunggang sepeda motor, menembus jalur licin dan berbatu di antara perbukitan dan semak-semak yang jarang disentuh pembangunan.


Mereka menyebutnya “Lapas Lumajang on the Road”. Tapi apa yang sesungguhnya terjadi di balik nama keren itu?


Tim investigasigwi.com mengikuti jejak mereka—secara harfiah dan maknawi. Tujuannya: Desa Tempursari. Sebuah titik di peta yang sering luput dari ingatan pemerintah, apalagi dari sentuhan bantuan.


Jarak dari pusat kota Lumajang? 75 kilometer. Tapi bukan angka itu yang bikin berat. Jalurnya sempit, curam, licin. Beberapa motor sempat tergelincir. Tidak ada jalan pintas. Yang ada hanya tekad dan dengkul kuat.



“Kalau nunggu akses bagus dulu, kapan bantuan nyampe?” celetuk salah satu petugas sambil menyeka keringat, setengah bercanda.


Dan ketika akhirnya sampai di Tempursari—setelah tiga jam lebih berkendara dan berkeringat—senyum warga menyambut dengan campuran haru dan rasa tidak percaya. Delapan puluh paket sembako dibagikan. Tapi lebih dari itu, warga merasa didatangi—dalam arti yang sebenarnya.


“Selama ini bantuan seringnya cuma numpang lewat. Mereka (petugas Lapas) ini datang sendiri, lewat jalur yang bahkan kami enggan lewati kalau tidak terpaksa,” ujar seorang warga yang menyebut dirinya Pak Muklis.



Yang menarik, kegiatan ini bukan bagian dari anggaran besar, bukan pula proyek pencitraan. Menurut Kepala Lapas Lumajang, ini murni inisiatif internal, didorong semangat gotong royong dan kemanusiaan. “Kami bukan menara gading. Kami lembaga negara, tapi kami juga manusia. Dan kami ingin menjadi bagian dari masyarakat, bukan sekadar institusi,” katanya.


Dalam situasi sosial yang makin individualistis dan birokrasi yang sering terjebak protokoler, apa yang dilakukan para petugas ini terasa seperti anomali. Atau mungkin justru pengingat, bahwa negara bisa hadir dengan cara yang sederhana—tapi terasa.


“Bukan banyaknya bantuan yang bikin kami terharu,” kata Bu Sri, warga lainnya. “Tapi karena mereka datang sendiri. Nggak kirim utusan, nggak kirim proposal. Mereka datang, lihat kami, dan bilang: ‘Kami peduli.’ Itu cukup.”



Mungkin Tempursari hanyalah satu titik sunyi di peta. Tapi ketika ada orang-orang yang rela menempuh medan sulit demi berbagi, tempat terpencil pun bisa menjadi pusat kemanusiaan.


Dan di sana, Lapas Lumajang tidak sedang membina narapidana. Mereka sedang membina harapan.


Laporan: Eny
Editor: Redaksi investigasigwi

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top