Tegal, InvestigasiGWI.com – Sebuah kegiatan pengabdian masyarakat yang digelar oleh Magister Ilmu Politik dan Program Studi S1 Ilmu Politik FISIP Universitas Nasional (UNAS) Jakarta di Desa Lembasari, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, menyimpan pesan lebih dalam dari sekadar pelatihan barista.
Acara yang dibuka secara resmi pada Senin, 23 Juni 2025 oleh Kepala Bappeda Litbang Tegal, Muhammad Farid Wajdy, S.Sos., M.Si., sebagai perwakilan Bupati Tegal, tampak sederhana di permukaan. Namun, ketika ditelusuri lebih jauh, kegiatan ini menjadi ruang strategis untuk membangun kesadaran politik masyarakat desa, yang selama ini dianggap pasif.
Pelatihan Barista atau Soft Diplomacy Pendidikan?
Herujito, mahasiswa Magister Ilmu Politik UNAS sekaligus koordinator pelatihan, menginisiasi Pelatihan Dasar Barista kepada Karang Taruna Desa Lembasari. Mesin espresso canggih dan perlengkapan kopi profesional didatangkan langsung dari Jakarta—bukan langkah yang murah atau sembarangan.
> “Ini bagian dari pengabdian Tri Dharma. Tapi juga cara pendekatan ke anak muda, agar mereka tertarik ikut serta dalam diskusi tentang partisipasi politik,” ungkap Herujito kepada InvestigasiGWI.
Fakta bahwa pelatihan dilakukan secara gratis kepada warga desa—terutama generasi muda—menjadi sorotan positif. Namun, lebih dari itu, kegiatan ini juga menyisipkan agenda edukasi politik dalam kemasan "Ngopi" (Ngobrol Perkara Politik), sebuah pendekatan soft diplomacy akademik yang cukup cerdas.
Data Politik Jadi Sorotan: Tegal Masih Rendah Partisipasi
Sekretaris Prodi S2 Ilmu Politik UNAS, Dr. Sahruddin Lubis, S.I.P., M.Si., dalam pemaparannya menyebut Desa Lembasari termasuk wilayah dengan tingkat partisipasi politik rendah pada Pemilu 2024. Hal ini menjadi dasar utama kampus menggelar kegiatan langsung di lapangan, bukan sekadar seminar di ruang kuliah.
> “Kami ingin ubah pola pikir warga. Politik itu tidak berhenti di kotak suara. Ia hadir di setiap kebijakan, anggaran, dan program desa. Dan masyarakat harus ikut mengawasi,” tegas Sahruddin.
Pengamatan lapangan InvestigasiGWI menemukan bahwa masyarakat Lembasari memang cukup responsif saat topik dikemas secara ringan namun menyentuh isu keseharian mereka. Diskusi berlangsung aktif, terutama saat pembicaraan menyentuh ketidakhadiran wakil rakyat setelah pemilu—isu yang selama ini hanya dibicarakan dari mulut ke mulut.
Kepala Desa Angkat Bicara
Harto, S.Pd., Kepala Desa Lembasari, tidak menampik fakta tersebut. Dalam sambutannya, ia menyambut baik kehadiran UNAS.
> “Kami bersyukur. Pelatihan ini bukan hanya ilmu barista, tapi juga cara agar warga kami sadar bahwa mereka punya hak bersuara,” ujarnya sambil mengacungkan jempol.
Pelatihan diisi oleh praktisi kopi berpengalaman seperti Rohmansyah Sujana dan Dodik Ericahyono. Kegiatan yang digelar di Balai Desa Lembasari ini diikuti ratusan warga yang hadir secara sukarela.
Analisis: Ketika Akademisi Menyatu dengan Rakyat
Kegiatan ini menunjukkan pola baru dari dunia akademik: tidak lagi hanya sebagai menara gading, tetapi sebagai aktor perubahan sosial-politik di tingkat akar rumput. Dengan memanfaatkan jalur non-formal seperti kopi dan pelatihan keterampilan, mereka masuk ke jantung komunitas, menyentuh isu sensitif dengan cara simpatik.
UNAS telah membuktikan bahwa pengabdian masyarakat bisa lebih dari sekadar seremonial. Ketika mahasiswa dan dosen menyentuh langsung denyut nadi warga desa, yang terjadi bukan hanya pemberdayaan, tapi juga transformasi.
Dan satu hal yang jelas: Lembasari kini tidak hanya belajar menyeduh kopi, tapi juga mulai menyeduh kesadaran politik. (Ler)