Skandal Kekerabatan di Tubuh ASN Pemkab Tangerang: Dinasti Birokrasi atau Maladministrasi?

Redaksi Media Bahri
0



Tangerang, 8 Juli 2025 – investigasigwi.com
Di balik kemilau jargon reformasi birokrasi dan netralitas ASN, terselip praktik-praktik gelap yang mencederai semangat keadilan karier aparatur sipil negara. Investigasi redaksi mengungkap dugaan kuat praktik nepotisme struktural dalam tubuh Pemerintah Kabupaten Tangerang, yang kini menjadi sorotan tajam publik dan penggiat anti-korupsi.


Empat nama mencuat dalam skema yang diduga mengarah pada pembentukan jaringan kekuasaan keluarga di birokrasi daerah, atau yang dikenal sebagai dinasti birokrasi. Sebuah pola yang tak hanya merusak kredibilitas tata kelola pemerintahan, tapi juga memperkuat aroma ketidakadilan dalam pengangkatan jabatan publik.



Siapa Saja Mereka?

  1. Dadang Suhendar, menjabat sebagai Kepala Bidang Pelayanan, diketahui merupakan paman dari Eva, Kepala Subbidang Penagihan Bapenda. Dalam satuan kerja yang mengelola penerimaan daerah, hubungan ini sangat berisiko memunculkan konflik kepentingan dalam proses kontrol dan evaluasi.

  2. Diki, menjabat sebagai Kepala TU UPT 5 Kelapa Dua, diketahui secara publik adalah adik ipar dari Bupati Tangerang. Posisinya di lapis pelayanan strategis menciptakan tanda tanya besar mengenai proses seleksi dan kompetensi.

  3. Farhan, seorang pejabat di Bappeda, disebut sebagai adik kandung Sekretaris Daerah (Sekda). Di tengah peran penting Bappeda sebagai lembaga perumus arah pembangunan daerah, keterkaitan darah dengan posisi tertinggi ASN memunculkan kecurigaan atas independensi lembaga teknokratik tersebut.

  4. Farly, yang menjabat sebagai Lurah Cisauk, merupakan anak kandung Bupati Kabupaten Tangerang. Fakta ini secara langsung menunjukkan indikasi pembentukan struktur birokrasi berbasis kekerabatan, sebuah bentuk deviasi sistemik dari prinsip meritokrasi ASN.



Hukum Dilanggar, Etika Dicampakkan

Pakar administrasi publik, Firdaus Tusnin, S.Sos., M.A.P, menegaskan bahwa praktik tersebut jelas melanggar UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, khususnya Pasal 3 dan Pasal 9, yang secara eksplisit mewajibkan pengelolaan ASN berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan objektivitas, bukan hubungan kekeluargaan.

Lebih tajam lagi, Firdaus mengingatkan bahwa berdasarkan UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 162 ayat (3), kepala daerah yang ingin mengangkat pejabat dalam enam bulan pertama masa jabatannya wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (Kemendagri).


“Bupati bukan otoritas akhir. Keputusan pengangkatan ada di tangan Kemendagri. Dan jika nama-nama ini tetap diloloskan, maka pusat ikut andil dalam membusukkan sistem birokrasi daerah,” tegas Firdaus kepada investigasigwi.com.



Birokrasi Dibajak Kekuasaan Keluarga?

Data yang diperoleh investigasigwi.com menunjukkan adanya skema "mutasi silang kekerabatan", di mana keluarga pejabat strategis disisipkan di posisi pelayanan penting untuk mengontrol arus informasi, pengambilan keputusan, hingga pengelolaan anggaran. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif—ini potensi maladministrasi struktural.


“Kalau tidak dihentikan, pola ini akan menjalar seperti kanker. ASN profesional akan bungkam karena sadar mereka bukan tandingan ‘keluarga penguasa’,” ucap Firdaus.



LSM BIMPAR: Ini Sudah Kategori Kejahatan Administratif

Asmudyanto, Ketua LSM BIMPAR Indonesia, menyebut bahwa penempatan keluarga dalam satu struktur jabatan yang saling berpengaruh bukan hanya kelalaian, tapi sudah masuk kategori kejahatan administratif.


“Kami siap membawa kasus ini ke KASN bahkan Ombudsman, jika Kemendagri tidak bertindak. Jabatan publik bukan warisan. Ini bukan kerajaan,” katanya.



Tuntutan Masyarakat: Kemendagri Harus Tolak Seluruh Nama

Dengan fakta hubungan darah dan afiliasi kekuasaan yang nyata, masyarakat menuntut Kemendagri menolak seluruh usulan rotasi dan promosi terhadap nama-nama yang terindikasi konflik kepentingan di Pemkab Tangerang.


Penolakan ini bukan hanya langkah hukum, tetapi langkah penyelamatan institusi negara dari praktek dinasti kekuasaan berbaju birokrasi. Jika tidak, maka patologi kekuasaan lokal akan meluas, dan birokrasi akan menjadi alat pelanggeng dinasti politik.



“Kalau Kemendagri masih diam, berarti sistem sudah disusupi. Kita tidak boleh kompromi dengan pengkhianatan pada etika negara,” pungkas Firdaus.



Penulis: Tim Investigasi
Editor Investigatif: Redaksi InvestigasiGWI.com
Narasumber Lapangan: ASMUDYANTO – Ketua LSM BIMPAR Indonesia
Foto & Dokumen Pendukung: Arsip InvestigasiGWI



Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top