Efisiensi atau Pembiaran? Krisis Perhotelan Sumut Menguak Luka Lama dalam Iklim Usah

Zulkarnaen_idrus
0


MEDAN | InvestigasiGWI.com – Di balik senyum hangat para resepsionis dan gemerlap lobi hotel, industri perhotelan di Sumatera Utara kini tengah berhadapan dengan badai krisis yang tidak sekadar menggoyang okupansi, tetapi mengancam struktur ekonomi kecil di sekitarnya—UMKM, pekerja, hingga ekosistem wisata lokal.


Forum Diskusi Terbuka bertajuk “Strategi dan Inovasi Dalam Menjaga dan Meningkatkan Kembali Stabilitas Iklim Usaha Perhotelan di Sumatera Utara” yang digelar di Grand Kanaya Hotel, Jumat (20/6), menjadi ajang pelampiasan unek-unek para pelaku usaha hotel dan restoran. Namun di balik retorika efisiensi dan solusi pelatihan, terselip narasi kebijakan pemerintah yang dinilai justru mempercepat runtuhnya stabilitas sektor ini.


Okupansi Anjlok, Kebijakan Disorot

Ketua PHRI Sumut, Denny S. Wardhana, secara gamblang memaparkan: sebelum kebijakan efisiensi diberlakukan, okupansi hotel di semester kedua bisa mencapai angka sehat 70 persen. Namun kini, angka itu jatuh bebas ke bawah 50 persen—bahkan mendekati titik kritis 30 persen.


“Ini bukan cuma soal berkurangnya tamu, ini soal kelangsungan hidup rantai ekonomi. UMKM penyedia bahan makanan terganggu, pekerja dirumahkan. Kami masih bergantung pada MICE, bukan karena ingin bermewah-mewah, tapi karena belum ada alternatif lain yang kuat,” tegas Denny.

InvestigasiGWI menemukan bahwa kebijakan efisiensi yang dimaksud mencakup larangan pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan FGD (Forum Group Discussion) di hotel. Sebuah kebijakan yang disampaikan tanpa mitigasi konkret dari pemerintah daerah, dan kini terbukti berimbas luas.


Siapa Diuntungkan, Siapa Dikorbankan?

Pihak Dinas Pariwisata dan Dinas Ketenagakerjaan Kota Medan hadir dalam forum itu, namun tanggapan yang diberikan dinilai banyak pihak tidak menyentuh akar persoalan.


Sekretaris Dispar Medan, Adryanta Putra Ginting, mengatakan pihaknya berupaya meningkatkan okupansi dengan menyelenggarakan event seperti Gelar Melayu Serumpun dan Car Free Night. Namun, upaya tersebut dianggap kurang strategis.


“Solusi yang ditawarkan sekadar tempelan. Bagaimana mungkin event musiman bisa menambal hilangnya puluhan kontrak kegiatan tahunan dari instansi dan korporasi?” ungkap seorang pelaku usaha hotel yang enggan disebutkan namanya.


Lebih ironis, Disnaker Kota Medan melalui Katim Produktivitas, Arianto Imam Sitompul, menawarkan pelatihan gratis di Balai Latihan Kerja (BLK) bagi pekerja yang terdampak PHK. Namun, tidak ada data konkret tentang berapa orang yang berhasil terserap kembali ke pasar kerja pasca pelatihan.


“Pelatihan bagus, tapi tanpa jaminan penyerapan kerja, ini cuma pengalihan isu,” ujar pengamat ketenagakerjaan lokal, Riza Harefa, saat diwawancarai InvestigasiGWI secara terpisah.


Narasi Efisiensi: Penyelamatan atau Pelepasan Tanggung Jawab?

Dalam lanskap bisnis yang sehat, efisiensi semestinya menjadi strategi adaptif. Namun di Sumatera Utara, efisiensi justru menyerupai bentuk pembiaran. Tidak adanya insentif fiskal, pelonggaran regulasi, atau proteksi sektor MICE membuat pelaku usaha merasa dipukul mundur tanpa perisai.


InvestigasiGWI mencatat, hingga pertengahan tahun 2025, puluhan hotel bintang tiga dan empat di Medan melaporkan penurunan pendapatan lebih dari 40 persen. Di sisi lain, laporan tidak resmi dari PHRI menyebutkan lebih dari 600 pekerja hotel telah dirumahkan sejak awal tahun.


Pertanyaannya: sampai kapan pemerintah daerah membiarkan sektor strategis ini berjuang sendirian?



📍 InvestigasiGWI.com akan terus menelusuri siapa yang bermain di balik kebijakan efisiensi ini, dan apakah benar ada relokasi anggaran kegiatan instansi ke tempat lain yang tidak transparan. Tunggu laporan mendalam kami berikutnya.



Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top