
Langkah Bupati sontak menuai pro dan kontra. Sebagian pihak menuding kebijakan itu sebagai bentuk pengabaian terhadap putusan pengadilan. Namun, ada pula yang menilai penerbitan SK tersebut merupakan langkah sah untuk menghindari kekosongan pemerintahan desa yang bisa merugikan masyarakat.
Penundaan pengangkatan kepala desa hanya akan menimbulkan kekosongan pemerintahan di tingkat desa. Kondisi itu dikhawatirkan menghambat pelayanan publik, memperlambat realisasi pembangunan, hingga memicu gesekan sosial di masyarakat.
“Pemerintahan desa harus tetap berjalan. Kalau terlalu lama dibiarkan tanpa kepala desa definitif, maka pelayanan masyarakat terganggu. Apalagi dana desa, keputusan administratif, hingga kebijakan pembangunan di desa akan terhambat,” ujar seorang pejabat di lingkup Pemkab Halmahera Selatan.
Praktisi Hukum Risno N. Laumara, S.H., menegaskan bahwa meskipun putusan PTUN bersifat final dan mengikat (inkracht), hal itu hanya berlaku pada objek sengketa tertentu. Artinya, pejabat pemerintahan masih memiliki ruang untuk mengeluarkan keputusan baru sepanjang ada dasar hukum dan kebutuhan administratif yang berbeda.
“Putusan tidak serta-merta menutup ruang bagi pejabat pemerintahan untuk mengeluarkan keputusan baru. Selama ada fakta hukum baru atau kebutuhan administratif yang berbeda, maka keputusan tersebut tetap sah secara hukum,” jelas Risno.
Menurutnya, dasar hukum penerbitan SK Bupati jelas. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 26 dan Pasal 34 memberi kewenangan penuh kepada Bupati untuk mengangkat dan memberhentikan kepala desa, dan kewenangan lain yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pandangan LBH JAVHA Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) JAVHA menilai pelantikan empat kepala desa oleh Bupati tidak bisa ditafsir secara berlebihan apalagi dipandang sebagai bentuk pembangkangan hukum.
“Jangan sampai interpretasi hukum yang sempit justru mengorbankan kepentingan masyarakat. Kehadiran kepala desa definitif sangat penting agar pemerintahan desa berjalan normal, terutama dalam pelayanan publik dan pengelolaan dana desa,” tegas perwakilan LBH JAVHA saat dikonfirmasi wartawan.
LBH JAVHA menambahkan, langkah Bupati justru sejalan dengan amanat Pasal 18 UUD 1945 yang mengakui dan menghormati keberadaan pemerintahan desa sebagai bagian dari struktur pemerintahan negara. Stabilitas pemerintahan desa, menurut mereka, merupakan bagian dari kepentingan umum yang wajib dijaga.
Potensi Gugatan Baru Tetap Terbuka
LBH JAVHA sepakat bahwa peluang gugatan baru di PTUN tetap terbuka. Mekanisme hukum tersedia bagi siapa saja yang merasa dirugikan.
“Dimana ada hak, di situ ada upaya hukum (ubi jus ibi remedium). Jika ada yang merasa dirugikan, silakan menempuh jalur hukum. Biarlah pengadilan yang menilai apakah SK Bupati sah atau tidak,” pungkas Risno.
Antara Hukum dan Kepentingan Umum
Sejumlah kalangan menilai, polemik ini menunjukkan adanya ketegangan antara kepastian hukum melalui putusan pengadilan dengan kebutuhan administratif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun, penerbitan SK Bupati tidak serta-merta cacat hukum, karena memiliki dasar kewenangan atribusi, serta dukungan dari asas kepentingan umum yang dijamin UUD 1945.
Bagi masyarakat desa sendiri, yang paling mendesak adalah adanya kepemimpinan definitif yang bisa memastikan jalannya pelayanan publik dan pengelolaan pembangunan desa.
Kesimpulan Polemik pelantikan empat kepala desa di Halmahera Selatan menegaskan pentingnya keseimbangan antara penghormatan terhadap putusan pengadilan dan kewenangan pemerintah daerah untuk menjaga stabilitas pemerintahan desa.
Sikap LBH JAVHA memperkuat pandangan bahwa pelantikan tersebut tidak bisa dipandang berlebihan, melainkan harus dilihat sebagai upaya menjaga roda pemerintahan agar tetap berjalan demi kepentingan masyarakat luas.