
Jakarta,– Ironi terus berulang di negeri ini. Di satu sisi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada sekitar 24 juta rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan Bank Dunia menyebut lebih dari 100 juta orang Indonesia rentan miskin. Namun di sisi lain, para pejabat negara, baik di pusat maupun daerah, justru menikmati gaji dan fasilitas supermewah yang kian menegaskan jurang ketimpangan.
Rekam jejak kebobrokan BUMN bukan hal baru. Publik masih ingat kasus penyelundupan motor mewah oleh direksi Garuda Indonesia. Belum lagi skandal Jiwasraya yang merugikan negara Rp13,7 triliun, serta kasus Asabri yang nilainya mencapai Rp10,8 triliun. Semua itu menunjukkan pola kerakusan yang sistemik.
Data terbaru mengungkapkan, gaji dan tunjangan direksi bank-bank milik negara justru melonjak tajam. Di Bank Mandiri, total gaji dan tunjangan direksi tahun 2024 mencapai Rp339,66 miliar per tahun. Jika dibagi rata untuk 12 direksi, masing-masing menerima sekitar Rp2,36 miliar per bulan. Sementara 11 komisarisnya rata-rata mengantongi Rp930 juta per bulan.
Kondisi serupa terlihat di Bank BRI. Dengan jumlah direksi dan komisaris yang hampir sama, seorang direksi bisa meraup gaji hingga Rp4,24 miliar per bulan. Sedangkan dewan komisaris menerima Rp114 juta per bulan. Angka ini memicu kritik publik, mengingat bank-bank tersebut beroperasi dengan dana masyarakat.
Kisah serupa juga terjadi di BPJS Kesehatan. Dalam RKAT 2019, tercatat alokasi insentif bagi delapan direksi mencapai Rp32,88 miliar per tahun. Artinya, tiap direksi menikmati Rp342,56 juta per bulan. Ironinya, pada saat yang sama jutaan rakyat kesulitan membayar iuran Rp35 ribu per orang per bulan, bahkan kerap terancam kehilangan layanan kesehatan.
Di ranah politik, anggota DPR RI juga tak luput dari sorotan. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebut total gaji dan tunjangan anggota DPR bisa menembus Rp240 juta per bulan. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding klaim resmi pimpinan DPR yang menyebut hanya Rp65,5 juta. Publik cenderung percaya pada data FITRA yang dinilai lebih transparan.
Bukan hanya pusat, pejabat daerah juga ikut menikmati fasilitas serba besar. Anggota DPRD Depok menerima sekitar Rp45 juta per bulan, sementara di Bekasi mencapai Rp46 juta. Gubernur dan wali kota meski gaji pokoknya tidak setinggi DPR, tetap memperoleh biaya operasional hingga ratusan juta rupiah per bulan.
Pengamat anggaran menilai, gaji pejabat seharusnya disesuaikan dengan kondisi rakyat. Jika saja gaji anggota DPR RI dibatasi Rp30 juta per bulan, negara bisa menghemat Rp40,25 miliar setiap bulan. Dana sebesar itu bisa dialihkan untuk membangun ratusan rumah layak huni bagi warga miskin.
Ketimpangan makin mencolok ketika harta kekayaan para pejabat tak sebanding dengan gaji resmi. Banyak pejabat yang bergaji Rp20 juta per bulan, tetapi memiliki kekayaan ratusan miliar. Dugaan keterlibatan dalam bisnis sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, sawit, hingga pasir laut pun tak terelakkan.
Situasi ini memperkuat persepsi publik bahwa kerakusan pejabat bukan sekadar korupsi, tetapi juga lahir dari hilangnya empati terhadap rakyat miskin. Di tengah penderitaan jutaan orang, pejabat justru memperkaya diri, menikmati bancakan uang negara tanpa rasa malu.