Oleh Tim Investigasigwi
MEDAN – investigasigwi.com | Kasus dugaan pengrusakan properti yang menyeret nama dr. Paulus Yusnari Lian Saw Zung kian memanas. Setelah Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap (P-21), perhatian publik justru tertuju pada satu langkah yang dinilai janggal: pembantaran tersangka ke rumah sakit dengan alasan sakit.
Pembantaran—yakni penundaan penahanan karena kondisi medis—bukan hal baru dalam praktik hukum Indonesia. Namun, ketika yang dibantarkan adalah seorang dokter spesialis ternama, dan kasusnya melibatkan dugaan pelanggaran pidana, maka wajar jika publik mempertanyakan: apakah ini bagian dari skenario hukum yang dirancang rapi?
Langkah Cepat Polda, Tapi Ada Tanda Tanya
Polda Sumut dinilai cepat menangani perkara ini. Tersangka telah ditahan, berkas dinyatakan lengkap, dan tahap dua dijadwalkan dalam waktu dekat. Namun, tiba-tiba muncul surat sakit. Menurut konfirmasi dari Kompol Siti Rohani Tampubolon, tersangka dibantarkan ke RS Bhayangkara karena kondisi medis tertentu.
“Tersangkanya sudah ditahan, bang. Tapi karena ada surat sakit, saat ini dibantarkan. Rencana tahap dua hari Jumat,” jelas Kompol Siti, Rabu (18/6/2025).
Namun tak dijelaskan lebih lanjut mengenai diagnosis medis yang mendasari pembantaran tersebut. Apakah dr. Paulus mengalami kondisi darurat? Apakah pemeriksaan dilakukan oleh tim dokter independen?
Hingga berita ini diturunkan, redaksi belum menerima salinan surat keterangan medis yang dimaksud. Publik dibiarkan menebak-nebak.
Advokat Senior Desak Second Opinion
Kuasa hukum korban, Marimon Nainggolan SH MH, tidak tinggal diam. Ia menyoroti transparansi keputusan medis yang mengakibatkan tertundanya proses hukum terhadap dr. Paulus.
“Kami mendukung penegakan hukum yang tegas. Tapi pembantaran harus sah dan objektif. Demi keadilan, harus ada second opinion. Jangan sampai publik curiga ada permainan,” tegas Marimon saat ditemui di PN Medan.
Ia bahkan menyebut potensi pelanggaran hukum jika terbukti surat dokter disalahgunakan. Pasal 267 KUHP secara tegas mengatur ancaman pidana bagi siapa pun yang memberikan keterangan medis palsu—terlebih jika dilakukan oleh seorang dokter.
Ironisnya, tersangka adalah dokter spesialis yang cukup dikenal di Medan. Pertanyaannya: siapa yang mengeluarkan surat sakitnya? Apakah dari rumah sakit tempat ia berpraktik? Atau dari rekan sejawat?
Suara Masyarakat: Jangan Ada yang Kebal
Reaksi keras juga datang dari tokoh lintas agama. Biksuni Caroline dan Biksuni Helen dari komunitas Vihara di Medan mengingatkan agar hukum tidak tebang pilih.
“Selama ini publik melihat dr. Paulus seperti kebal hukum. Sekarang saatnya membuktikan bahwa hukum itu berlaku untuk semua,” ucap Biksuni Caroline.
Mereka menyebut bahwa kasus ini sudah menjadi perhatian masyarakat luas, karena menyangkut keadilan bagi pelapor dan citra penegakan hukum secara umum.
Akhir dari Skema atau Awal Transparansi?
Pembantaran atas alasan medis bukanlah kesalahan jika dilakukan sesuai prosedur. Namun ketika pelakunya adalah seorang profesional medis, dan surat sakit menjadi penunda keadilan, maka integritas proses hukum jadi taruhan.
Kini semua mata tertuju pada tahap dua yang dijadwalkan Jumat mendatang. Apakah dr. Paulus benar-benar tidak layak ditahan karena sakit, ataukah publik sedang menyaksikan skenario klasik dalam dunia peradilan?
Satu hal pasti: tanpa transparansi dan second opinion, publik akan terus bertanya—dan rasa percaya terhadap keadilan bisa semakin terkikis. (Tim)