Investigasigwi.com — Humas MA, Jakarta, Kamis 22 Mei 2025. Penggunaan satu pengadilan distrik di setiap kabupaten/kota dan pengadilan teritorial di setiap provinsi memberikan suatu hal yang menguntungkan dari berbagai sisi.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yang terdiri dari peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi.
Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang bersifat hierarkis, Mahkamah Agung membawahi empat badan peradilan tersebut. Untuk peradilan umum, secara terstruktur terdiri dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi; untuk peradilan agama, secara terstruktur terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama; untuk peradilan militer, secara terstruktur terdiri dari Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi; untuk peradilan TUN secara terstruktur terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Memang, tidak semua tingkatan akan bekerja secara hierarkis dan berurutan sebagaimana penjelasan tersebut.
Jika kita melihat setiap badan peradilan tersebut, maka kita dapat memahami, selalu ada pengadilan di tingkat distrik (kabupaten/kota) yang terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan TUN.
Pada pengadilan di tingkat teritorial (provinsi/daerah) terdiri dari Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Mempelajari hal tersebut, mengapa pengadilan tingkat distrik dan pengadilan tingkat teritorial tersebut tidak bersatu saja dalam suatu wadah tertentu? Sebab pada akhirnya semua badan peradilan akan bermuara dan bertanggung jawab juga kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Penulis memahami pemisahan badan peradilan tersebut merupakan suatu konsekuensi logis, setidaknya dengan beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, rumusan konstitusi. Terdapat pembagian yang jelas pada frasa “Badan Peradilan di bawahnya” pada Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang terdiri dari empat badan peradilan sebagaimana penjelasan di atas.
Kedua, adanya tindak lanjut pembentukan paket Undang-Undang Badan Peradilan pada kurun waktu 1986-1989 dan beberapa tahun setelahnya, Dari Undang-Undang Peradilan Umum sampai Undang-undang Peradilan Militer. Dengan adanya masing-masing Undang-undang tersebut, penafsiran praktis adalah semua badan peradilan tersebut “lahir” sebagai lembaga yang memiliki aset, SDM, keuangan dan nilai organisasi tersendiri.
Ketiga, adanya latar belakang yang berbeda di antara masing-masing badan peradilan. Peradilan Umum dan Peradilan TUN adalah ‘anak kandung’ dari Kementerian Kehakiman; Peradilan Agama merupakan ‘anak kandung’ dari Kementerian Agama; serta Peradilan Militer merupakan ‘anak kandung’ dari TNI.
Keempat, sebagai perkembangan dari alasan ketiga bahwa perbedaan latar belakang tersebut turut membentuk kultur dan karakter yang berbeda pada setiap badan peradilan.
Penulis berpendapat, keempat alasan di atas tentu bukanlah suatu penghalang bagi ide penyatuan keempat badan peradilan sesuai dengan tingkatannya. Sebab, pada prinsipnya semua badan peradilan tersebut berada di bawah satu instansi yang bernama Mahkamah Agung RI.
Adanya penyatuan keempat badan peradilan tersebut juga bukan hanya normatif dan konseptual semata, tetapi juga terwujud dalam suatu keputusan tertentu, yaitu Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2004. Penyatuan tersebut meliputi kepegawaian, kekayaan Negara, keuangan,arsip dan dokumen, termasuk pengaturan tim teknis pengalihan.
Jika tafsir konstitusi menyatakan, seharusnya badan peradilan tersebut menjadi suatu lembaga yang masing-masing berdiri sendiri, maka penulis bertanya bagaimana dengan institusi Mahkamah Agung, yang terdiri dari kamar-kamar dan semuanya berada pada satu gedung? Bukankah institusi Mahkamah Agung terdiri dari kamar militer, kamar agama, kamar Tata Usaha Negara, kamar ‘umum’ yang dalam hal ini adalah pidana dan perdata?
Jika tafsir regulasi paket badan-badan peradilan memberikan penafsiran seolah lembaga badan peradilan masing-masing memiliki organisasi, struktur, aset, SDM dan keuangan sendiri, maka penulis juga bertanya mengenai keberadaan Dirjen Badimiltun yang ternyata tidak terpisah, tetapi menyatu untuk membawahi peradilan tata usaha negara dan peradilan militer?
Pada dasarnya, penyatuan badan peradilan harus juga diikuti dengan penyatuan kondisi fisiknya, sehingga peradilan itu bukan mengenai ‘gedungnya’, tetapi mengenai ‘fungsinya’.
Jika membahas mengenai latar belakang dan kultur masing-masing badan peradilan, menurut hemat penulis, tidak akan menghalangi jalannya badan peradilan yang menyatu dalam satu gedung tersebut. Penyatuan gedung sebagai suatu peradilan yang “manunggal” akan menjadi penyatuan karakter dan kepribadian insan Mahkamah Agung yang berasal dari lingkungan berbeda. Ini karena Mahkamah Agung RI telah berusaha untuk menyatukan seluruh badan peradilan dengan menggunakan konsepsi cetak biru Mahkamah Agung, budaya pelayanan prima dan inisiasi “7 nilai Mahkamah Agung RI”.
Badan peradilan yang menyatu sudah semestinya diartikan sebagai badan peradilan yang manunggal aset, keuangan, aplikasi, prosedur operasional standar, Sumber Daya Manusia (SDM) dan berbagai bentuk integrasi lainnya.
Penulis mengajak para pembaca untuk bermimpi mengenai badan peradilan yang terintegrasi dalam “pengadilan distrik” dan “pengadilan teritorial”. Secara faktual, mimpi tersebut terwujud pada adanya suatu gedung besar yang bertingkat-tingkat dengan adanya layanan administrasi dan layanan persidangan di masing-masing gedung. Di antaranya, lantai satu untuk badan peradilan umum, lantai dua untuk badan peradilan agama dan seterusnya sampai badan peradilan militer.
Selanjutnya, terdapat pengamanan yang diisi oleh personel keamanan di setiap lantai, yang berasal dari lingkungan peradilan militer dan profesional swasta di bidang keamanan yang bersertifikasi dengan baik, yang berfungsi baik untuk pengamanan persidangan maupun pengamanan di lingkungan perkantoran. Tidak jauh dari gedung perkantoran tersebut juga ada perumahan badan peradilan yang juga dijaga dan dikawal ketat dengan personel keamanan.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, penggunaan satu pengadilan distrik di setiap kabupaten/kota dan pengadilan teritorial di setiap provinsi memberikan suatu hal yang menguntungkan dari berbagai sisi, yang di antaranya adalah sebagai berikut:
(1) efisiensi dari sisi keuangan, keuangan empat badan peradilan hanya perlu diurus oleh satu bagian keuangan saja. Tidak perlu lagi ada nomenklatur Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang berbeda satu sama lain, tetapi menyatu semua dalam “anggaran badan peradilan distrik atau teritorial”;
(2) efisiensi dari sisi aset, bahwa cukup satu saja aset badan peradilan di tiap distrik dan teritorial, selanjutnya untuk aset lainnya bisa berguna untuk pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN), yang pengelolaannya tergantung pada Pengelola BMN.
(3) efisiensi dari sisi SDM. Penyatuan organisasi dalam satu gedung harus dipandang pula sebagai suatu bentuk penyatuan kekuatan (unification of forces) di antara SDM setiap badan peradilan untuk bekerja bahu-membahu menyelesaikan tugas-tugas peradilan dengan baik, terlebih khusus pada hakim, yang jumlahnya masih kurang dari cukup.
(4) mendukung program efisiensi yang sedang dicanangkan oleh Kepala Negara, yaitu penggunaan anggaran yang berbasis pelayanan kepada masyarakat dan berdampak langsung pada masyarakat.
(5) Mempermudah Mahkamah Agung dalam melaksanakan pengawasan baik bagi hakim maupun aparatur pengadilan di bawahnya, demi integritas badan peradilan.
(6) fungsi keamanan tentunya sangat dekat dengan pengadilan militer, yang notabene berasal dari orang-orang terlatih dalam bidang pertahanan Negara;
(7) dari sisi hukum acara, hal ini mengurangi keberatan atau eksepsi para pihak berkaitan dengan kewenangan mengadili secara absolut, yang setelah penyatuan hanya terbatas pada lembaga quasi yudisial seperti KPPU, BPSK dan KIP serta lembaga arbitrase.
(8) penerapan satu atap yang murni dan konsekuen. Organisasi, administrasi dan finansial memang semuanya sudah dipegang dan di bawah Mahkamah Agung.
Sudah semestinya badan peradilan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terintegrasi dan menjadi miniatur Mahkamah Agung di wilayah hukum masing-masing.
Hal ini tentunya semakin mengukuhkan independensi institusional lembaga kekuasaan kehakiman, selain daripada perjuangan independensi personal para hakim.
Seperti peribahasa “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui” penulis berharap hal ini bisa menjadi solusi dalam mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang substantif.
Melalui tulisan ini, penulis juga mengusulkan agar Mahkamah Agung berkenan untuk mengadakan penelitian dalam rangka penyusunan Naskah Akademik tentang “Pembentukan Pengadilan Distrik dan Pengadilan Teritorial: Integrasi Aset, Keuangan dan SDM Empat Lingkungan Peradilan di bawah Mahkamah Agung”.
Jayalah terus Mahkamah Agung RI!
Penulis : Yoshito Siburian