Namun yang lebih mengerikan bukan hanya pelaku. Yang lebih mencoreng akal sehat bangsa adalah kehadiran aparat Polres Tapanuli Selatan dan personel TNI yang berdiri di lokasi, melihat langsung kejadian tersebut—dan tidak berbuat apa-apa.
Mereka tidak mencegah. Tidak menindak. Tidak bersuara. Mereka diam. Bungkam. Mati nurani.
Pertanyaannya: Untuk apa mereka hadir, jika mereka tidak menjaga kehormatan negara?
Penegakan hukum tidak bisa dinegosiasikan. Undang-Undang jelas: Pasal 154a KUHP menyatakan, siapa pun yang menodai bendera negara dihukum penjara maksimal 4 tahun. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 menegaskan bahwa Bendera Merah Putih adalah lambang kedaulatan yang wajib diperlakukan dengan penuh hormat.
Apa yang dilakukan oleh oknum keamanan perusahaan adalah pidana. Tapi apa yang tidak dilakukan oleh polisi dan TNI yang menyaksikan kejadian adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.
Ini bukan hanya kelalaian. Ini pembiaran. Ini ketundukan aparat kepada korporasi, bukan kepada negara.
Penggiat sosial Muhammad Zulfahri Tanjung dengan keras menuntut Kapolres Tapanuli Selatan dicopot. “Jika Kapolres membiarkan bendera negara dihina dan tak ada tindakan, maka ia tak layak mengenakan seragam. Seragam itu bukan kostum—itu sumpah.”
Apa artinya bendera bagi bangsa ini, jika dijatuhkan di tanah dan para penjaganya hanya menonton?
Jangan heran jika rakyat kehilangan kepercayaan. Ketika aparat diam terhadap pelanggaran terang-terangan terhadap simbol negara, maka jelas: hukum tak lagi tegak, wibawa negara dipermalukan oleh para penjaganya sendiri.
Ini bukan sekadar soal perusahaan sawit. Ini soal harga diri bangsa.
Jika hukum masih hidup di negeri ini, pelaku harus ditangkap. Kapolres harus dicopot. Aparat yang bungkam harus diperiksa. Atau kita semua akan menyaksikan: bahwa Merah Putih tak lagi punya penjaga. (Zoel Idrus)